Multi Level Paradigma Gerakan Mahasiswa

Oleh Ahmad Rodif Hafidz[1]

Sebagai sebuah organisasi pergerakan mahasiswa tentunya dalam menjalankan setiap gerak lakunya PMII perlu mempunyai pedoman bersikap untuk menanggapi fenomena realita yang muncul. Pedoman itulah yang kemudian disebut sebagai landasan berpikir atau paradigma. Peranan paradigma dalam setiap organisasi sangatlah vital. Paradigma adalah ibarat ruh dalam tiap organisasi yang akan mengarahkan sikap dan tindakan menghadapi persoalan-persoalan yang terjadi.

Karakteristik akan paradigma dalam tiap jiwa organisasi pun nantinya akan terbentuk dengan sendirinya seiring kebutuhan akan zaman. Tentunya dengan embrio yang berbeda-beda maka akan memunculkan karakteristik paradigma yang berbeda pula, seperti apa paradigma yang akan dipilih dan dijadikan landasan berpikir dan bergerak dalam tiap nafas sebuah organisasi.

Pentingnya sebuah paradigma terutama dalam PMII adalah untuk melakukan sebuah pendekatan terhadap objek yang dikaji. Dimana paradigma ini orientasinya didasarkan pada realitas-realitas yang ada kemudian melihat sisi empiris yang kemudian digunakan untuk menganalisis sebuah persoalan yang dihadapi. Dengan demikian maka PMII dapat dengan lantang menyuarakan ketidak adilan yang ada yang telah ditinjau lewat paradigmanya.

Paradigma Kritis

Kemudian paradigma seperti apakah yang menjadi titik acuan bagi PMII untuk bersikap? Untuk melakukan perubahan-perubahan dari masa ke masa secara sistemik—terutama pembebasan dan pemanusiaan—maka dibutuhkan penyadaran pada setiap diri individu. Penyadaran (conscientizacao) merupakan inti pendidikan yang nantinya di situ akan diberikan sebuah gambaran mengenai pola pikir yang kemudian akan melandasi tingkah laku (paradigma). Dari sekian banyak teori tentang penyadaran Paulo Freire memberi penekanan pada “kesadaran kritis” (critical consciousness) yang lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber maslah. Pendekatan struktural menghindari blaming the victims dan lebih menganalisis untuk secara kritis menyadari struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi, dan budaya dan akibatnya pada keadaan masyarakat. (Listiyono Santoso, dkk. dalam Epistemologi Kiri)

Penjelasan tentang kesadaran kritis di atas kemudian menjadi kebutuhan bersama bagi organisasi PMII dalam melakukan problems analisys yang kemudian diintegrasikan ke dalam paradigma gerakan dalam jiwa PMII. Sehingga paradigma kritis seakan menjadi sangat vital peranannya dalam bergerak. Pendalaman akan teori secara matang, analisis mendalam, dan selanjutnya diwujudkan dalam aksi transformatif lewat konsensus mengingat hal ini menjadi penting karena sebagai tokoh terdepan ketika berbicara tentang Pancasila maka harus bisa menginternalisasi nilai-nilai musyawarah mufakat.

Dunia yang terus bergejolak, berbagai arus terus menerus mengalir, globalisasi, neoliberalisme, fundamentalisme, dan radikalisme namun dengan nalar kritisnya PMII perlu terus membangun karakter anak zaman. Bagaimana bersikap secara kritis dan terbuka dalam menghadapi tantangan yang ada. Formula-formula baru untuk menyokong paradigma kritis harus terus dibangun karena tidak bisa zaman yang sekeras sekarang ini ditamengi dengan metode-metode praktis ortodok. PMII jangan malah menjadi sosok konservatif yang alergi akan munculnya pengaruh baru. Nalar kritis-transformatif yang telah dibangun harus tetap dipelihara karena juga menjadi tradisi namun tak lupa juga harus cermat dalam mengawal modernisasi.

Modifikasi Paradigma PMII

Dari waktu ke waktu perubahan akan arahan terhadap paradigma yang dianut PMII pun terus berkembang. Kritis-transformatif tidak bisa lagi bisa mengawal gerakan mahasiswa. Tendensi akan gerakan perlawanan secara frontal mahasiswa yang pada masa itu—kepemimpinan Gus Dur—mulai tersisihkan. Berbagai macam isu strategis banyak yang terabaikan. Berbagai gerak pengaruh internasional yang harusnya berpengaruh baik untuk Indonesia malah luput dari pembacaan.

Gerakan yang taktis dan strategis yang bisa mewujudkan cita-cita bangsa akhirnya mulai dibangun kembali oleh para aktivis mahasiswa gerakan pada masa itu. Hingga pada akhirnya mencuat ke permukaan paradigma PMII berorientasi kepada “Membangun Sentrum Gerakan di Era Neo Liberal.” Memang tak dipungkiri bahwa sebagai kader organisasi mahasiswa pergerakan kita harus selalu mengasah otak dengan menyelaraskan kondisi kekinian.

Kemudian lebih lanjut karena sebuah organisasi mempunyai cita-cita yang ingin senantiasa diwujudkan. Ketika masa sebelumnya pola pikir dimaknai sebagai pencarian identitas maka seiring berjalannya waktu muncul istilah “Multi Level Strategi” yang dimaknai sebagai langkah lanjut daripada langkah gerakan di masa-masa sebelum sekarang. Dengan itu paradigma PMII diharapkan semakin terarah dan harmonis dengan zaman. Tentunya dengan harapan bahwa PMII dapat semakin cermat melihat isu dengan kekritisannya, kemudian mengawal perubahan ke arah yang lebih baik, hingga terbentuknya sebuah dinamisasi pergerakan yang mampu mengawal kaum tertindas (mustadh’afin) dan menyerukan ketidak adilan untuk kesejahteraan bangsa Indonesia.

[1] Penulis adalah Ketua Umum PMII Cabang Kota Solo masa khidmat 2014-2016, mahasiswa yang tengah menyelesaikan studi di FT UNS

Leave a comment