Kejahatan Rantai Pangan dan Resiko Pasar

Oleh Mustaq Zabidi[1]

Keberadaan mafia pangan sampai saat ini terus berkeliaran dan memiliki banyak tempat bersandar. Pola kejahatan yang dibangun sangat terstruktur dan masif. Tak ayal, hal itu menyulitkan pihak tertentu dalam upaya melakukan penanganan secara mendasar. Para mafia kerapkali berulah dengan melakukan redistribusi balik barang yang awalnya tertuju langsung kepada para pelanggan, justru di reduksi (kuantitas barang) sehingga skala prioritas pasar yang tertuju tidak tepat sasaran.

Ketidakpastian pasar menjadi harapan bagi kelompok tersebut dikala kebutuhan masyarakat akan hal-hal pokok mengalami tingkat permintaan yang tinggi. Harga kebutuhan pangan di intervensi dan diatur sedemikian rupa sehingga stabilitas harga terporak-porandakan. Momentum itulah yang dijadikan peluang untuk mengeruk keuntungan yang sangat besar. Kebutuhan pasokan semakin meningkat namun disendat dengan pola yang menghambat. Tak heran, banyak ditemukan di berbagai tempat terjadi kenaikan harga dengan disparitas yang tinggi.

Kebutuhan masyarakat akan harga kebutuhan pangan yang terjangkau, keberadaan barang yang terjamin menjadi primadona bagi semua pihak. Harga kebutuhan pangan yang stabil, kuantitas pasokan yang cukup dan daya beli masyarakat yang berimbang memberi signal atas keberadaan pasar tersebut (baca; sinkronisasi transaksi perdagang) berjalan dengan baik. Transaksi perdagangan yang berjalan kondusif akan sedikit mengendorkan praktik kejahatan rantai pasok pangan. Upaya counter back terhadap harga barang harus ditekan sekecil mungkin untuk mengantisipasi timbulnya gejolak yang suatu saat akan muncul.

Upaya penanganan kasus serupa pernah dilakukan pemerintah dalam rangka mengurai tingginya harga barang dipasaran. Operasi pasar di beberapa titik daerah (terdampak) digalakkan, hal itu menjadi langkah antisipatif atas tersendatnya akses transaksi perdagangan. Skala operasi pasar tersebut cukup beragam (besar/kecil) tergantung target pasar yang dituju. Kecenderung daerah  yang masuk kategori terdampak dilihat dari seberapa besar populasi, tingkat konsumsi dan kemampuan daya beli masyarakatnya. Jumlah permintaan barang konsumsi yang tinggi akan membuka peluang operasi pasar dengan skala besar.

Keberadaan operasi pasar memiliki makna yang baik, namun hal itu dirasa masih belum efektif dan tidak memiliki dampak secara luas. Pasalnya, program tersebut hanya berdurasi singkat dan tidak memiliki efek berjangka terkait pengaruh turunnya harga kebutuhan masyarakat. Operasi pasar tersebut hanya sebagai penawar bukan pengendor atas kenaikan harga. Kasus tahunan ini bergulir bukan tanpa sebab karena siklus harga yang terkesan rumit dibiarkan mengular tanpa menanggalkan kebijakan yang jauh sebelumnya, sehingga jam dering terus berbunyi sedangkan upaya preventif masih belum kentara.

Hal yang patut disayangkan manakala kran impor dianggap menjadi langkah jitu dalam mengatasi segala masalah kebutuhan pangan, tak terkecuali sebagai upaya mempengaruhi harga barang yang tinggi. Alasan terbukanya kran impor yang disandarkan pada kepentingan mendesak dengan mengatasnamakan hajat masyarakat luas bukanlah sebagai langkah yang tepat. Kran impor bukanlah solusi konstruktif, akan tetapi justru menambah inventaris masalah yang akan memantik persoalan baru. Pasalnya, impor bukanlah kebijakan solutif melainkan kegiatan yang sifatnya insidental.

Kenaikan harga barang kerapkali dihubungkan dengan beberapa beban biaya, baik biaya distribusi ataupun logistik. Biaya distribusi dikaitkan dengan mobilitas transportasi barang/jasa yang memperhitungkan jarak tempuh (waktu), bahan bakar, dan jasa kirim. Ongkos kirim bisa meningkat jika tersendat transportasi yang macet, akses jalan yang buruk di daerah dan persoalan kualitas barang yang mulai menurun. Biaya logistik bisa melonjak lantaran terjadi penurunan kualitas barang, akibatnya barang yang masuk dipasaran jumlahnya sedikit. Sehingga yang akan timbul yakni lesunya realitas pasar yang tidak lagi menarik dan turunnya daya beli masyarakat.

Pada pasar tertentu jenis kebutuhan seperti cabai, tomat, dan sebagainya yang terkendala anomali cuaca sehingga terjadi kenaikan harga itu dimaknai sesuatu yang sifatnya alamiah. Jenis barang tersebut tidak mampu bertahan lama, terbatasnya umur ekonomi dan tidak bisa disimpan dalam kurun waktu yang lama. Namun, hal ini tidak bisa berlaku pada jenis barang seperti gula, beras, kedelai yang memiliki ketahanan umur ekonomi dan tingkat resiko kecil dibandingkan dengan jenis barang yang mudah busuk.

Bertolak Belakang

Dalam sisi kajian ekonomi modern, analisa full costing dan variabel costing seharusnya sudah menjadi jawaban terpenuhinya harga barang yang standar. Penyajian laporan laba rugi di setiap periodenya (period cost) menjadi analisa baku yang selalu dihitung sisi untung-ruginya. Sehingga, perusahaan akan menekan tingkat kerugian yang sewaktu-waktu terjadi dan menaikkan laba dengan kadar yang sewajarnya.

Negara-negara eropa yang maju dengan peradaban ekonomi justru memberikan harga yang terjangkau bagi para konsumen disaat momentum tertentu. Harga kebutuhan primer, dan sekunder diatur dengan memberikan kemurahan harga pada barang yang dianggapnya menjadi barang prioritas. Sehingga, momentum tertentu bukan dijadikan persekongkolan jahat antara pengusaha (korporasi) dengan mafia pangan untuk mengeruk keuntungan diluar batas kewajaran.

Kejahatan rantai pangan yang terorganisir saat ini sudah masuk dalam siklus mata rantai yang sulit diurai. Keberadaannya meresahkan banyak pihak dan mengancam eksistensi pasar yang menganut prinsip dagang koefisien korelasi. Kejahatan rantai pangan yang sulit dibendung dengan segala aktivitas propaganda terselubung menjadi momok menakutkan disaat fungsi perdagangan tidak lagi sebagai akses kebutuhan masyarakat melainkan lebih pada pertarungan dan pertaruhan pos posisi para elit penguasa ekonomi dunia. Hukum dasar ekonomi tidak akan berlaku, yang ada hanyalah mafia pangan berebut kawasan.

Mafia pangan tidak muncul sendiri, keterlibatan korporasi dan oknum pemerintah yang cenderung korup membuka akses masuknya para pelaku kartel untuk mengintervensi besaran harga atas barang. Kuota impor salah satu lahan garap yang mudah di kavling besaran pembagian porsi keuntungan. Korporasi menjadwalkan tingkat produksi barang yang kecil, barang yang beredar dipasaran sifatnya terbatas, muncullah monopoli harga dan terbukanya kuota impor.

Transparansi kuota impor di lintas kementerian dan korporasi tidak menjamin adanya keterbukan antar lembaga. Tak heran, silang pendapat soal perlu tidaknya kuota impor menjadi perselisihan alot antar kementerian. Menteri A berselisih dengan menteri B soal kuota impor garam, beras, sapi, gula, dan sebagainya. Situasi yang gaduh akhirnya meluber ke publik dan mencirikan kondisi yang tak kondusif. Perang statement terpaksa meletus dan saling celetuk, hingga akhirnya pihak Istana mengambil sikap tegas dan kehati-hatian. Akhirnya, muncul reshuffle di lingkup kementerian sebagai langkah meredam konflik horizontal dan antisipasi negara terhadap kerancuan informasi dan data yang barangkali bocor ke publik. Masyarakat luas tentu bisa menilai soal isu ini, kemana muara dan arah kepentingan politik yang dituju. Maklum saja, karena yang berebut kuasa adalah para pemangku kebijakan yang diboncengi para mafia.

Resiko pasar tentu akan besar ketika mafia pangan memiliki peranan khusus dalam stok pangan. Keberadaannya akan menghambat upaya pemerataan ekonomi dan kemungkinan tingkat kerawanan yang timbul akibat permainan kartel barang. Kerugian negara akan semakin besar dan bangunan ekonomi akan keropos. Satu item komoditas pangan yang tersentuh ulah para mafia pangan berapa besar kerugian negara yang timbul. Besaran kerugian negara atas praktik kartel menjadi bancakan para mafia pangan. Nominal keuntungan yang didapatkan besarannya bisa separuh lebih dari rata-rata standar harga barang.

Permainan kartel muncul diciptakan oleh kepentingan sepihak para mafia dan oknum pemerintah senior yang memiliki nalar kuasa lebih untuk menguasai pos dagang kawasan. Akses jejaring mitra bisnis yang luas menjadi modal utama untuk menekuk kompetitor yang sama-sama memiliki hasrat berkuasa. Semakin besar akses jejaring yang dimiliki mencitrakan kerakusan pribadi untuk merebut tahta kuasa yang lebih besar. Prinsip dagang tidak menjadi sesuatu yang penting manakala titik-titik dagang strategis berhasil dikuasai. Betapa kejamnya mafia berulah akan menggiring sesuatu dibawahnya untuk tunduk dengan aturan yang telah dibuat.

[1] Penulis adalah Sekretaris Umum PMII Cabang Kota Solo masa khidmat 2016-2017, Mahasiswa S1 Manajemen FEB UMS

Leave a comment